Iman, Pemikiran dan Akhlaq
Tiga Unsur Pembentuk Kepribadian
Tiga Unsur Pembentuk Kepribadian
Amang Syafrudin ZM
Institut Agama Islam "Al-Qudwah", Depok, Jawa Barat
Institut Agama Islam "Al-Qudwah", Depok, Jawa Barat
"Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman, beramal sholeh, saling menasehati dengan kebenaran dan saling
menasehati dengan keshabaran."
(QS. 103 al-'Ashr 1-3).
Sebuah
surah pendek yang begitu akrab di telinga kita kaum muslimin ini nampak
sederhana. Tetapi tidak demikian bagi Al-Imam Syafi'i, menurutnya ia adalah
surah yang jika hanya surah ini satu-satunya yang diturunkan Allah bagi manusia
niscaya cukup memadai. Bagaimana perbedaan pandangan yang demikian jauh ini
bisa terjadi. Pada hal beliau adalah salah seorang tokoh yang memilliki
pengikut cukup besar di negeri ini. Bahkan kecerdasan, keilmuan, kepribadian
dan ketaqwaannya cukup diakui para 'ulama terutama di masanya. Sehingga
sebahagian sejarawan Islam mengabadikannya di deretan para pembaharu ummat ini. (QS. 103 al-'Ashr 1-3).
Surah ini pulalah yang telah dijadikan landasan para shahabat, generasi terbaik ummat ini, dalam melakukan perubahan tatanan dunia hingga terbentuknya peradaban baru. Peradaban Islam yang benar-benar mencerminkan sifat manusia yang unik. Berada di antara kemuliaan para malaikat dan bersih dari prilaku hewani. Cukup dipahami jika Al-Imam Sayid Quthb mengungkapkannya sebagai surah yang meletakkan seluruh kerangka dasar "dustur" perundangan-undangan Islami.
Surah ini memuat tiga kata singkat dan padat. Yaitu Iman, 'amal sholeh dan tawashi 'saling menasehati'dengan al-haq 'kebenaran' dan keshabaran. Tiga kata dasar pembentukan keperibadian dalam kehidupan seorang manusia sebagai syarat melepas kerugian yang siap membelenggu hidupnya. Sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh Allah Pencipta manusia, alam dan kehidupan, dalam ayat 2. Pernyataan yang sulit diperdebatkan atau dipertanyakan obyektifitasnya. Mengingat itu keluar dari Maha Pencipta yang secara aksiomatis adalah Yang Maha Mengetahui segala permasalahan ciptaan-Nya.
Yang ingin dianalisa ulang adalah bagaimana ke tiga kata tersebut begitu esensial bagi pembentukan keperibadian dan sekaligus peradaban umat Islam sepanjang sejarahnya. Peradaban yang telah menyumbangkan seluruh karya dan perestasinya bagi kehidupan dan rahmatan bagi semesta alam. Tanpa meminta balas jasa atau pamrih terhadap dunia bagi kesejahteraan umat ahli warisnya. Sikap yang tidak dimiliki bangsa-bangsa dengan peradaban materialistik modernnya yang demikian idealis namun egois dengan "hak cipta"nya.
Iman adalah puncak keperibadian seseorang. Ia juga merupakan lapisan terdalam keperibadian manusia yang sulit dibaca atau diusik. Kata ini merupakan hasil kristalisali dan perpaduan kecemerlangan wawasan pemikiran dan kematangan kedewasaan mental. Karena akhir sebuah pemahaman baru bermanfaat saat menjadi keyakinan dalam bentuk prinsip atau kepercayaan. Ia tersimpan dan terpelihara sebagai puncak rahasia hidup seseorang. Dan akhirnya ia menjadi dorongan dan kekuatan untuk mengambil keputusan. Disamping dapat melindungi dan menenteramkan pemiliknya dalam melakukan tindakan.
Iman secara bahasa berasal dari kata dasar a-mi-na. Yang berarti merasa aman dan tenteram. Sedangkan aa-ma-na berarti meyakini, percaya atau beriman. Jika dilihat dari kata dasarnya maka keimanan adalah sesuatu yang memberikan keamanan dan ketenangan bagi pemiliknya. Jika keimanan tidak memberikan nuansa tersebut maka telah terjadi distorsi, penyimpangan, ketidak berfungsian bahkan mungkin kesalahan total pada obyek yang diimaninya. Disinilah kita dapat memahami ma'na dibalik firman Allah "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan dzikir (mengingat dan menyebut) Allah niscaya hati menjadi tenang". (QS. 13 Ar-Ra'd, 28).
Ketenangan adalah puncak dan muara kebahagiaan dan kesenangan seseorang. Bahkan itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Kesenangan dan kebahagiaan yang tidak membawa kepada ketenangan dapat dikatakan kesenangan semu. Dengan ketenangan dan ketenteraman seseorang akan mampuh mengendalikan diri dengan baik. Di mana saat itulah kemampuhan menganti-sipasi dan menganalisa seseorang berfungsi dengan baik pula. Karena saat ia gelisah, emosi tak terkendali dan kalut maka hal yang sepele bisa menjadi rumit dan sulit.
Oleh karena itu iman tersimpan di bagian terdalam dan terpenting tubuh manusia. Hati atau tepatnya Qalbu, yang menurut Rasulullah, shallallahu 'alai wa sallam, sebagai orbit atau muara baik-buruknya seluruh tubuh. "Ingatlah bahwa dalam tubuh itu terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan jika rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah bahwa itulah qalbu" (Al-Hadits).
Atau sebagai "hakim agung" dalam diri seseorang. Pengambil keputusan terakhir untuk suatu tindakan yang harus diambil dan dilaksanakan anggota tubuh. Sebagaimana Nabi besabda: "istafti qalbaka" artinya: Mintalah fatwa (nasehat, pandangan dan putusan) kepada hati nuranimu. Dengan demikian keimanan dan keyakinan menjadi ukuran dan ruh kejujuran yang menenteramkan hati seseorang.
Pemikiran adalah lapisan ke dua pembentuk kepribadian. Ia menjadi muatan akal setiap manusia. Dengan akal dan nalar manusia dapat berpikir secara dinamis untuk menghasilkan suatu rumusan yang bernama pemikiran. Pemikiran adalah anugerah Pencipta manusia yang sangat berharga. Dengan pemikiran manusia dapat berinisiatif, berkreasi, berinovasi dan berkarya secara baik, efektif dan efisien. Dalam konteks individual pemikiran ini dapat memformulasikan maket kepribadian. Sedangkan dalam konteks ummat atau sosio kultural manusia dapat memetakan tatanan peradaban.
Di sini pemikiran cukup menentukan dalam menata kembali masa depan keperibadian seseorang dan merekayasa ulang peradaban suatu bangsa. Bangsa yang tidak mewariskan pemikiran kepada generasinya, akan kehilangan masa depannya sekalipun saat ini hidup dalam peradaban yang modern dan maju. Sebaliknya bangsa yang mewariskan dan memelihara pemikirannya dari generasi ke generasi akan tetap eksis dan memiliki peluang besar membangun kembali peradabannya.
Iman yang tumbuh baik dan hidup dinamis adalah iman yang melahirkan kekuatan berpikir untuk menghasilkan pemikiran, 'irodah' atau keinginan dan tekad untuk melakukan sesuatu. Yang seluruhnya diformulasikan dalam istilah niat. Niat dalam pandangan para 'ulama menempati sepertiga kehidupan manusia. Karena hati manusia adalah satu dari tiga bagian dan unsur primer manusia di samping akal untuk berpikir dan pisik untuk bertindak. Disinilah nilai interaktif dan interdependen antara ke tiga unsur tersebut.
Dengan demikian niat dapat menjadi ujung tombak keimanan. Ia dapat mengarahkan dan menata sebuah orientasi kerja dan perilaku. Oleh karena itu untuk mengetahui seberapa tinggi keimanan yang dipusatkan pada niat seseorang adalah kata ke dua yaitu "amal sholeh".
Amal sholeh adalah prinsip dasar methodologi pemikiran dalam Islam. Sebuah pemikiran yang tidak berlandaskan hasil karya adalah tercela menurut syari'. Demikian para 'ulama Islam menggariskan paradigma methodologi pemikirannya seperti Al-Imam Asy-Syathibi. Prinsip ini diilhami ayat di atas. Ayat yang menginspirasikan dan sekaligus meminta pertanggungan jawab atas pemikiran dan keyakinan seseorang.
'Amal sholeh juga menempati posisi cukup strategis dalam membentuk keperibadian. Bahkan ialah pembentuk konstruksi bangunan akhlaq dan perilaku yang merupakan lapisan terluar keperibadiannya. Lapisan terluar ini mengesankan ma'na dan nilai pemikiran dan keyakinan seseorang manakala orang lain bersinggungan dengannya.
Amal sholeh secara bahasa berarti kerja yang baik, laik, sesuai, benar, damai, serasi dan segala yang bernuansakan ma'na kebaikan dan kemashlahatan. Pilihan kata ini amatlah tepat dan mencerminkan miracle atau kemu'jizatan al-Qur'an. Ukuran kebenaran dan kebaikan yang dimaksud tentu saja menurut seluruh penilai baik kalangan manusia atau makhluq lain seperti malaikat dan alam semesta.
Kebaikan tersebut pada akhirnya memerlukan standar penilaian baku yang disepakati bersama. Inilah persoalan mendasar terjadinya perselisihan, perbedaan pandangan dan sikap dalam kehidupan manusia. Jika kebaikan dan kebenaran ini diserahkan kepada manusia maka tidak akan terjadi titik temu.
Disinilah Allah menurunkan ajaran dan konsep hidup bagi manusia. Bahkan untuk seluruh makhluk-Nya sehingga mereka tunduk dan patuh dengan peraturan-Nya. " Maka apakah mereka mencari agama selain agama Allah. Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka kembali". (QS. 3 Ali 'Imron 83).
Dengan diturunkannya Islam sebagai pedoman dan jalan hidup maka titik kesepakatan nilai kebenaran akan ditemukan. Dan selanjutnya akan menjadi tali pengikat hubungan kehidupan menuju terciptanya kesejahteraan dalam peradaban manusia. Bahkan sebagaimana diisyaratkankan dalam ayat tersebut kesepakatan standar nilai ini juga diakui kalangan makhluk lain seperti malaikat yang lebih besar jumlahnya dari pada manusia dan tidak pernah maksiat sedikitpun kepada Allah (Lihat QS. 66 at-Tahriim, 6).
Dengan demikian amal sholeh yang dimaksud Islam adalah kerja yang baik dan laik menurut Allah 'Azza wa Jalla yang selanjutnya menjadi dasar pengakuan kesholihan kalangan manusia, jin dan para malaikat. Karena kebenaran itu adalah otoritas yang Maha Mengetahui. Dan dipastikan tidak ada yang maha mengetahui hakikat sesuatu selain Penciptanya. Di sini kita melihat bagaimana keimanan dituntut untuk meyakini siapa yang sebenarnya yang harus mendefinisikan dan mendimensikan kata "kebenaran" atau al-haq. Jika terjadi kekeliruan dalam keyakinan ini maka akan terjadi kekeliruan fatal dalam perbuatan, tindakan dan seluruh dimensi kehidupan.
Perpaduan ketiga unsur utama ini menjadi sinergi keperibadian bagi kemuliaan dan keagungan seseorang dan bangsa. Sinergi ini selanjutnya menjadi dasar kekuatan dalam berbagai dimensi dan aspek kehidupannya. Oleh karena itu membangun kepribadian Islami merupakan prioritas utama dalam pembangunan setiap individu yang akan membentuk suatu bangsa dengan perdabannya. Dimulai dengan memahami dan internalisasi esensi keimanan dan pemikiran Islam yang selanjutnya diaktualisasikan dan dieksternalisasikan dalam bentuk akhlaq dan prilaku baik dalam konteks individu maupun sosial.